Powered By Blogger

Rabu, 19 Oktober 2011

BAHAYA POLITIK IDENTITAS DALAM PENDIDDIKAN MULTICULTURAL

Selalu dikumandangkan bahwa kita hidup dalam keberagaman, hidup dalam situasi yang berbeda-beda namun tetap satu, seperti pemaknaan tulisan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkeram oleh burung Garuda lambang negara kita. Apakah sebenarnya politik identitas dan keberagaman itu? Apa hubungannya dengan pluralisme?
Keberagaman (diversity atau plurality) berbeda dengan pluralisme, keragaman adalah pluralitas yang alami, mendasar dan sifatnya given, seperti misalnya adanya etnis Bali, Jawa, Madura, minang dll atau agama Hindu, Islam, Kristen, Katolik, Budha. Sedangkan pluralisme adalah proses pergumulan terhadap fakta pluralitas atau keragaman tersebut yang bertujuan menciptakan masyarakat bersama yang dibangun atas dasar pluralitas tersebut.
Menurut Piliang (2003), pluralisme adalah pandangan yang menghargai kemajemukan, penghormatan kepada yang lain yang berbeda, membuka diri terhadap beragam warna keyakinan, kerelaan untuk berbagi, keterbukaan untuk saling belajar, serta keterlibatan diri secara aktif di dalam dialog dalam rangka mencari persamaan-persamaan dan penyelesaian konflik-konflik.
Jadi, pluralisme adalah sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman itu. Pluralisme adalah sebuah prestasi bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan masyarakat madani.
Dari pemahaman di atas, Perbedaan adalah alami, Hidup dalam perbedaan atau keragaman memerlukan toleransi, namun pluralisme tidak sekadar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan. pluralisme membutuhkan saling memahami, membutuhkan dialog. Dialog berarti berbicara sekaligus mendengarkan, dan proses dialog itu harus mengungkapkan saling memahami fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai, tidak ada kalah-menang dalam dialog.
Pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain.
Karena itu, fakta pluralitas tersebut baru bisa dipahami jika kita kelompok berbeda, etnis berbeda maupun umat beragama berbeda memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan roh pluralisme. Dalam hal ini pluralisme setingkat lebih tinggi daripada toleransi.
karena toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman atas yang lain, sementara pluralisme mensyaratkan keduanya.
Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antar agama, namun tidak cukup kuat sebagai landasan dialog antar agama. Sebab, budaya toleransi itu masih rawan untuk disusupi maupun diprovokasi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membangun berdasarkan konteks lokal masing-masing, namun dalam perjalanannya kewenangan ini membuat para elite2 daerah untuk melakukan revitalisasi nilai-nilai adat budaya dan agama yang merambah ke ranah publik. Dalam situasi seperti ini, politik identitas berbasis kesukuan dan atau agama berpotensi merugikan atau mendiskriminasi kelompok lain.
Nah apa pula politik identitas itu? Menurut Cressida Heyes (dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007) politik identitas adalah, tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Menguatnya Politik identitas ini dapat kita lihat contoh-contohnya di banyak daerah, yaitu adanya gerakan-gerakan serba kedaerahan, keagamaan, kesukuan, sampai gerakan cara berpakaian yang melambangkan kedaerahan dan keagamaan tertentu seperti misalnya salah satu contoh adalah himbauan berpakaian adat Bali pada hari kerja tertentu, atau sejak otonomi daerah adanya aturan jilbab pada semua sekolah di daerah tertentu. kehadiran dan menguatnya politik identitas sengaja dijalankan kelompok masyarakat yang mengalami marginalisasi. Hak-hak politik serta kebebasan untuk berkeyakinan mereka selama ini dirasakan mendapatkan hambatan yang sangat signifikan.
Penguatan-penguatan politik identitas yang tidak dilandasi semangat pluralisme dapat membuat konflik2 antar etnis dan budaya, konflik antar kelompok berbeda agama dan kepercayaan, bahkan banyak konflik dapat terjadi hanya karena tapal batas desa, kuburan maupun hanya karena tidak adanya toleransi dan pemahaman atas kebiasaan dan cara berpakaian pada etnis, suku maupun agama tertentu.
Kini sudah 64 tahun kita bersepakat hidup bersama dalam kerangka NKRI berdasarkan Pancasila dan menganut philosofi Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun sejak otonomi daerah, meski tidak jelas terlihat, dapat kita rasakan menguatnya politik identitas kearah negatif dalam keberagaman kehidupan kita. Hal ini dapat mengancam toleransi dan semangat pluralisme yang telah kita bangun bersama sejak kita merdeka. Oleh karena itu tanpa mengabaikan semangat otonomi daerah, semangat pluralisme sangatlah penting untuk selalu dikumandangkan, dilaksanakan dan dipelihara demi kelangsungan NKRI yang telah kita sepakati bersama.
Dari mana memulainya? Bisa dimulai dari unit negara yang terkecil, yaitu keluarga, terutama ayah ibu, seorang ibu dan seorang ayah dapat menanamkan sejak dini nilai-nilai kesetaraan dalam perbedaan, ajarkanlah putra putri kita untuk menghargai agama lain, suku lain, adat dan kebiasaan orang lain. Sehingga nilai-nilai menghargai keberagaman dapat terbawa sampai anak-anak dewasa, dan bila semua orang tua dapat berperan maka niscaya upaya-upaya penyeragaman kepada bangsa Indonesia kini, tidak akan terjadi lagi. Tidak akan ada dominasi mayoritas ataupun tirani minoritas. Marilah merawat generasi penerus untuk menjaga semangat pluralisme sehingga kita dapat hidup setara dalam keberagaman.
Kebebasan demokrasi yang cenderung kebablasan amat membahayakan. Selain korban jiwa, keutuhan bangsa dan negara pun jadi taruhan. Apalagi potensi konflik di negeri kita amat pelik. Celakanya, ihwal perbedaan suku bangsa, bahasa, budaya, agama, kepercayaan, ras, ideologi, atau golongan tidak dihadapi sebagai alasan utama guna membangun Indonesia yang adil dan sejahtera.

Politik identitas malah dijadikan dagangan. Isu presiden dari Jawa versus luar Jawa, partai nasionalis vs religius, penghadangan calon perseorangan, atau pengharaman golput pun merupakan isu politik yang terus diulik para elite. Dibukanya sayap keagamaan dan kebangsaan di beberapa partai, belum cukup kuat untuk meredam anak bangsa berbenam dalam perpecahan.
Politik identitas memang ancaman menakutkan saban pemilu dilaksanakan. Padahal Pemilu 2009 merupakan ujian sukses-tidaknya demokrasi sebagai salah satu cara guna mengelola negara. Oleh karena itu, Pemilu 2009 mesti berjalan dengan baik dan benar untuk kepentingan semua pihak.

Sayangnya, cita-cita mewujudkan bangsa dan negara yang lebih baik habis terkikis oleh kepentingan pribadi dan golongan. Bahkan, pasca-Keputusan MK tentang suara terbanyak untuk caleg terpilih, makin menandaskan kepentingan pribadi di atas segala-galanya. Persaingan bukan melulu antarcaleg berbeda partai, antarcaleg di partai yang sama pun potensi perpecahannya makin menganga.

Maka, impian merengkuh kursi legislatif dilakukan dengan pelbagai cara. Akhirnya, strategi politik yang penuh intrik dan cenderung licik dipraktikkan. Biarkan yang lain meradang, yang penting diriku menang. Begitulah mantranya.

Yang namanya kontes, tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Karena proses awalnya salah kaprah, hasilnya pun sulit diharapkan. Yang menang membusungkan dada, yang kalah berujung memendam dendam berkepanjangan. Terjadilah tarik-menarik kepentingan dan pergolakan atau kerusuhan sosial tak terelakkan.

Di sinilah Panwaslu-Bawaslu, KPU, MK, serta para penegak konstitusi dan hukum lainnya, dituntut keberanian dan ketegasannya dalam melaksanakan beragam aturan. Para penyelenggara demokrasi tersebut harus jadi wasit yang adil dalam menghadapi para caleg dan partai yang keluar dari rel.

Unsur lain yang bisa memberantas politik identitas adalah para pemuka agama dan masyarakat. Sebab, masyarakat Indonesia lebih patuh pada kiai sepuh ketimbang tunduk kepada aparat pemerintah.

Suku-suku bangsa di nusantara lainnya pun nyaris serupa. Raja, kepala suku, datuk, sesepuh atau tetua, ucap dan tindakannya selalu jadi rujukan. Bahkan rakyat cenderung taklid. Sebab, dalam keyakinan masyarakat tradisional sabda pemimpin merupakan kepanjangan tangan dari titah Tuhan.

Ironisnya, para pemuka masyarakat pun tak lepas dari belenggu intrik para elite. Mereka memanfaatkan tokoh berpengaruh untuk memuluskan ambisi pribadinya.

Setegas dan semahir apa pun para penegak hukum dan konstitusi dalam melaksanakan perannya, secerdik dan selicik apa pun para elite dalam mengelabui para pemuka masyarakat dan agama, tak akan berpengaruh jika masyarakat kita cermat dan cerdas dalam memilih.

Pertanyaannya, sudah secerdas apa rakyat Indonesia dalam menghadapi hajat politik 2009? Masalah kecerdasan, jangankan masyarakat awam, para pelaku politik (caleg) sekalipun, masih terlihat kekanak-kanakan. Terbuki, mereka masih melakukan politik uang, politik diskriminasi, kampanye hitam, mencari kambing hitam, juga menjadikan isu kedaerahan dan kebangsaan sebagai bagian dari memenangi perlombaan.
ndonesia merupakan salah satu negara multikulturalis terbesar di dunia, realitas tersebut didukung oleh data sebagai berikut: (a) merupakan negara yang mempunyai ±13.000 pulau; (b) jumlah penduduknya lebih dari 200 juta; (c) mempunyai ± 656 suku bangsa; (d) memiliki lebih dari 360 dialek bahasa lokal; dan (e) beragam Agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Soebadio, H., 1983; Yaqin, A.M. 2005). Kondisi kehidupan masyarakat yang multikultural tersebut secara makro dapat menjadi faktor pendorong atau penghambat proses pembangunan nasional dalam berbagai bidang (Koentjaraningrat, 1982; Ihromi, T.O., 1984). dan secara mikro, khususnya dalam proses pembelajaran di kelas akan dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran. Oleh karena itu setiap proses pembelajaran budaya (sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi) di setiap lembaga pendidikan seharusnya menerapkan konsep pendidikan multikultural dalam PBM di kelas, agar nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945 terbumikan dalam proses kehidupan sehari-hari menuju masyarakat yang integratif. Ada dua permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam karya tulis ini, yaitu: Apakah makna pendidikan multikultural?; dan Mengapa pendidikan multikultural merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar di kelas?.
Makna pendidikan multikultural
Makna pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan beragam perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan: etnis, agama, ras, gender, kelas sosial, kemampuan, usia, agar proses pembelajaran di kelas menjadi efektif dan mudah (Tilaar.H.A.R. 2004; Yaqin, A.M. 2005). Sedangkan hakikat tujuan pendidikan multikultural adalah untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap ‘demokratis, humanis dan pluralis’ dalam proses sosial di lingkungan mereka sepanjang usia hidupnya. Realitas sosio-budaya masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah sangat majemuk atau pluralis, oleh karena itu keberagaman tersebut seharusnya menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan: filsafat, teori, visi, pengembangan pendidikan, sosialisasi kurikulum, pelaksanaan kurikulum sampai proses pembelajaran yang dilakukan setiap guru di kelas atau di luar kelas.
Pendidikan multikultural merupakan sebuah keniscayaan
Beberapa konsep dasar yang menjadi alasan bahwa pendidikan mutikultural merupakan suatu keniscayaan (keharusan objektif) dalam PBM di kelas adalah: Pertama, keberagaman budaya tersebut dapat menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses maupun hasil pembelajaran (Yaqin, A.M. 2005). Oleh karena itu, kondisi multikultural tersebut seharusnya menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi pendidikan dan kurikulum serta proses pembelajaran setiap mata pelajaran di kelas. Realitas sejarah membuktikan, bahwa setiap proses pemberdayaan manusia dalam kehidupan kelompok (masyarakat atau bangsa) yang tidak memperhatikan kondisi objektif multikulturalis para anggota kelompok, adalah menjadi pemicu atau penyebab terjadinya konflik demi konflik sehingga tujuan kelompok tidak bisa tercapai dengan baik (Masoed, M. (ed). 1999; Sutrisno, L. 2003; Nugroho, F, (ed), 2004). Oleh karena itu ketika seorang guru mampu memberdayakan kondisi objektif multikulturalis siswa di kelas dengan baik, maka pembelajaran akan berlangsung efektif dan proses pencapaian tujuan pembelajaran relatif mudah dicapai.
Kedua, hakikat hidup selalu tampil dalam keberagaman (multikultural), oleh karena itu membangun sikap mental telerir, kooperatif dan memahami realitas kehidupan yang pluralis adalah sangat penting untuk meminimalkan terjadinya konflik dan disintegrasi kelompok. Ketika anak bangsa tidak mampu membangun sikap multikulturalisme, maka potret kehidupan kelompok akan diwarnai sikap saling memaksakan ambition dan interest-nya (Liliweri, A., 2005). Oleh karena itu seorang pendidik harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural, yaitu demokrasi; humanisme; dan pluralisme, baik memalui pendekatan teoritik (konsep-konsep ilmiah) yang terintegral pada mata pelajaran yang diampu, maupun melalui pendekatan praktik (keteladanan) sehari-hari di sekolah. Peran guru dalam hal membentuk karakter siswa dalam hal sense multicultural adalah sangat sentral (Usman, M.U., 2000). Ketika nilai-nilai multikultural (demokrasi, humanisme, pluralisme) terinternalisasi (terlembagakan atau telah mempola) pada diri anak, maka anak tersebut akan mudah melakukan perubahan perilaku positif, inovatif, dinamik dan tolerir, dan ‘sejatinya inilah inti atau misi pendidikan atau pembelajaran’.
Ketiga, teori belajar yang digunakan dalam pendekatan pendidikan multikultural masa depan, tidak boleh hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial-budaya dan politik yang dinamik, inovatif yang berkepribadian unggul yang mengakar pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa yang majemuk. Oleh karena itu guru mempunyai peran sentral dalam membentuk karakter siswa dalam menanamkan nilai-nilai dan sikap tindakan anti diskriminasi ras, etnik, agama, gender, kemampuan dan kelompok dalam bentuk apapun di lingkungannya (Warnaen, S. 2002; Tilaar.H.A.R. 2004). Kehidupan modern dewasa ini menghadirkan suatu pola hidup kompetitor disegala aspek dengan gerak perubahan yang begitu cepat (Green, A. W. 1972), hal ini dibutuhkan sikap mental anak bangsa yang unggul, inovatif, tolerir, demokratis dan humanis. Hanya melalui pintu pendidikan dan pembelajaran yang dirancang dengan baik akan menghasilkan sikap mental anak bangsa yang multikultural.
Keempat, Tantangan kehidupan di era transformasi informasi teknologi (IT) dan era globalisasi sekarang ini menuntut terbentuknya sikap mental anak bangsa yang mampu membangun sikap: leader principle, vition principle, dan well organice principle, agar mampu bersaing dalam berbagai bidang kehidupan baik pada ranah lokal maupun global (Suryadinata, L., dkk. 2003). Dalam hal ini guru mempunyai kedudukan sangat strategis dalam membangun ketiga prinsip tersebut melalui proses pembelajaran pendidikan multikultural yang terintegral pada setiap mata pelajaran. Setiap mata pelajaran hakikatnya dapat dikembangkan dengan cara memasukkan konsep multikultural.
Beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh guru dalam menerapkan pendidikan multikultural dalam PBM di kelas antara lain: (1) setiap guru seharusnya mempunyai sikap pemahaman dan wawasan yang komprehensif tentang sikap anti diskriminasi dalam berbagai aspek di sekolah; (2) setiap guru harus mempunyai sensivitas yang kuat terhadap gejala-gejala terjadinya diskriminasi multi aspek sekecil apapun bentuknya yang terjadi di kelas. Ketika gejala diskriminasi: ras, suku, gender, kemampuan dan sebagainya muncul, maka guru segera menambil tindakan strategis-edukatif; (3) setiap guru harus menjadi contoh secara langsung melalui sikap dan tingkah laku tentang penerapan demokratisasi, humanisasi dan pluralisasi selama proses pembelajaran di kelas; (4) setiap guru mengagendakan secara periodik setiap semester untuk memberikan tugas individu pada siswa tentang ’tema pentingnya wawasan multikulturalisme’ dalam kehidupan masyarakat Indonesia; (5) setiap guru selama proses pembelajaran menyisipkan satu atau dua permasalahan (problem) untuk dijawab peserta didik yang berkaitan dengan nilai-nilai multikultural; dan (6) setiap guru mendorong pada lembaga (tempat mengajar) untuk secara periodik mengadakan dialog tentang multikultural atau kajian-kajian multikulturalisme.
Sedangkan yang berkaitan dengan aspek pengembangan KTSP masa depan yang berdasarkan pendekatan multikultural dapat dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut: Pertama, filosofi kurikulum harus diorientasikan kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan layanan unit satuan pendidikan. Arah filosofi kurikulum hendaknya mengembangkan aspek pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan humanis, demokratis dan pluralis peserta didik, baik sebagai individu maupun warga bangsa; Kedua, teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula ‘nilai, moral, prosedur, proses, dan keterampilan’ yang harus dimiliki peserta didik di era globalisasi; Ketiga, pendekatan pembelajaran di kelas masa depan harus memperhatikan keragaman (multikultural) kemampuan, sosial, budaya, dan ekonomi peserta didik dan tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, hidup aktif-kreatif, dan kooperatif dalam pluralitas masyarakat Indonesia dan dunia; dan Keempat; evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam dan integral (menyangkut: performance; afektif; paper and pencil test; portofolio; dan self assessment) sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan (BSNP, 2006).
Kesimpulan
Uraian deskriptif analitis tersebut di atas, memberikan pemahaman mendasar tentang pentingnya pendidikan multkultural yang terintegrasi dalam pembelajaran setiap mata pelajaran di kelas. Urgensi pendidikan multikultural bagi siswa tersebut dapat dilihat dari aspek: Realitas objektif peserta didik yang sangat pluralis; Kondisi objektif kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia yang sangat majemuk; dan Tuntutan kehidupan ke depan di era globalisasi yang menuntut sikap mental dinamik, inovatif, demokratis dan humanis di tengah keberagaman budaya dunia. Sosok kehadiran guru di kelas yang berposisi stategis dalam pembelajaran dituntut mempunyai kemampuan profesional dalam pemberdayaan keberagaman peserta didik tersebut menuju keunggulan hasil pendidikan, dan ketika guru mampu berperan dalam mewarnai sikap mental demokratis, humanis dan pluralis pada setiap anak didik, maka guru tersebut betul-betul ‘pahlawan tanpa jasa’. Insya Allah!.